728

Kamis, 29 Agustus 2013

Lima Tahap Kesedihan Saat Patah Hati

Siapa yang nggak pernah patah hati? Coba angkat tangan. Mana? Mana? Nah, benar kan, hampir nggak ada yang angkat tangan. Kita semua pasti pernah mengalami masa-masa patah hati. Berat atau ringan, yang namanya patah hati itu nggak enak. Tapi tenang, bahkan Jennifer Aniston (dengan tubuh seksi dan rambut berkilau sempurna) aja patah hati, apalagi kita. Jadi maksud saya, ITU ADALAH HAL YANG NORMAL.

Serius deh, patah hati mungkin adalah hal terburuk yang pernah terjadi pada saat itu terjadi—tapi percayalah, waktu akan menyembuhkan segalanya.

Sayangnya, sebelum waktu membantu menyembuhkan, akan ada masa-masa kelam dan suram dalam hidup kita seperti masa kelam dan suram di dunia penyihir akibat Voldemort sebelum Harry Potter lahir. Iya, saya tahu. Memang segitunya, kok.

Jadi, terinspirasi dari lagunya The Script, "Six Degrees of Separation", yang bercerita tentang tahapan patah hati yang dialami vokalis Danny O’Donoghue akibat putus dengan pacarnya yang supermodel (Lihat, kan? Bahkan Danny aja patah hati. Kita nggak sendirian di dunia kejam ini), saya jadi ingin menemukan penjelasan tentang tahapan patah hati dari sisi psikologis.

Menurut Elisabeth Kübler-Ross dalam hipotesisnya dalam buku On Death and Dying (1969), terdapat 5 tahapan kesedihan (5 Stages of Grief) yang umumnya terjadi ketika kita mengalami situasi duka, dalam hal ini kita lagi ngomongin tentang patah hati. Tahapan itu adalah DABDA: Denial (Penyangkalan), Anger (Kemarahan), Bargaining (Tawar-menawar), Depression (Depresi), dan Acceptance (Penerimaan).

Nggak selamanya tahapan ini terjadi secara berurutan. Bahkan bisa aja seseorang nggak mengalami semua tahapan ini, mungkin hanya satu atau dua tahap aja, tapi tetep…nggak bisa dihindari. Maaf-maaf aja.


1. Denial (Penyangkalan)
Biasanya nih ya, pada tahap ini kita akan terlalu sibuk dengan pikiran, “Nggak kok, gue belum putus, Ini cuma menjauh sementara, karena dia butuh ‘me time’. Kami akan baik-baik aja.” Seharusnya perasaan ini tak bertahan lama sih yah, tapi ada juga yang kayaknya susah move on dari tahap ini dan seumur hidup terus melakukan penyangkalan.

2.    Anger (Kemarahan)
Ketika akhirnya kita berhasil move on dari tahap penyangkalan, biasanya kita udah sadar bahwa realitanya adalah—maafkan kabar buruk ini, ya, teman—IT’S OVER. Selesai. Hubungan telah berakhir. Kemudian kita mencari tahu alasan kenapa kita putus dan biasanya menemukan bahwa rasanya hidup itu nggak adil lalu kita melampiaskannya dalam berbagai cara. Termasuk jadi lebih sensitif terhadap orang lain—dalam artian yang jelek. Jadi kalau dalam masa-masa ini kita merasa melihat banyak orang yang kelihatan bawaannya ingin nyelupin kepala kita ke dalam kolam—yah, itu semua karena sikap kita juga sih.

3.    Bargaining (Tawar menawar)
Dalam masa ini, percayalah, kita akan terlihat sangat menyedihkan. Di tahap ini kita mulai menawarkan hal-hal yang diharapkan bisa membawa keadaan menjadi lebih baik. Misalnya, “Janji, aku akan berubah. Kamu mau aku bagaimana?” (tambahkan mata berkaca-kaca, bengkak dan hidung merah) atau mulai berpikir bernegosiasi dengan setan dengan berpikir, “Pokoknya gue mau deh nuker semua koleksi Kate Spade gue asal gue bisa ngabisin waktu sebentaaaarr aja sama dia.”

Jawabannya adalah: nggak, sayang. Pada akhirnya kita akan kehilangan koleksi tas kita ditambah dengan penyesalan selamanya. Bukan karena patah hati, tapi karena kita terlalu buta dan bodoh untuk menukar hal yang berharga dengan...yah, bukan dengan apa-apa. Yang diinginkan juga nggak terkabulkan, kan?

Di tahap ini juga biasanya sebenernya kita udah sadar bahwa kita sudah berada di garis akhir, hanya saja kenyataan rasanya terlalu berat untuk dihadapi (dan diakui).

4.    Depression (Depresi)
Nah, biasanya karena tahap tawar-menawar nggak berhasil, kita bisa jadi depresi, terus nggak mau makan, kurang tidur, nggak berminat ngapa-ngapain, jadi nggak produktif lah. Belum lagi mikir, “Kalau gue nggak ditakdirkan sama dia, kenapa gue dipertemukan dengan dia?” Mungkin jawabannya nggak tersedia sekarang, tapi suatu hari pasti kita akan tahu kenapa.

5.    Acceptance (Penerimaan)
Pfiuuuhhh. Akhirnya sampai juga di tahapan ini. Biasanya kalau kita udah di sini, kita udah berdamai dengan diri sendiri. Menerima kenyataan bahwa kita udah putus dari pasangan dan ini saatnya melanjutkan hidup. Mungkin nggak sepenuhnya ‘I’m over him’, mungkin kita akan bolak-balik meyakinkan diri bahwa ini memang sudah berakhir dan kita harus move on, tapi kita tahu bahwa kita sudah berada di jalan yang benar. Jalani hidup, ambil pelajaran dari kejadian itu, dan cintai hidup kita yang sekarang.

Mungkin setelah lima tahap itu kita lalui, akan ada masa-masa yang lain, masa di mana kita penasaran tentang bagaimana kabar mantan, apakah hidupnya lebih bahagia dari kita, apakah dia masih ingat kita, apakah dia menyesali keputusannya meninggalkan kita dan lain-lain, tapi percayalah, yang penting saat ini adalah kita melalui lima tahapan itu dengan selamat.

Kalau sudah berhasil melaluinya (dan saya yakin kita pasti bisa melaluinya), saya bangga dengan Anda. Iya, Anda.

Kamis, 15 Agustus 2013

Tujuh Bahaya Laten yang Mengancam Hubungan Anda

Anda mungkin sudah tahu bahwa masalah keuangan, mertua yang ikut campur, atau adanya orang ketiga berpotensi menghancurkan rumah tangga. Tapi di luar hal-hal ekstrem itu, ternyata banyak hal kecil dalam hubungan yang justru bisa lebih berbahaya.

1. Komunikasi digital
Mengirim SMS, BBM, WhatsApp, atau bahkan email, memang lebih cepat dan praktis dibanding menelepon atau bertemu langsung. Apalagi jika Anda berdua sama-sama sibuk. Namun penelitian yang dilakukan Oxford University menemukan bahwa semakin sering pasangan berkomunikasi secara digital, semakin mereka tak puas dengan hubungannya.

Jenev Caddell, PsyD, ahli psikologi hubungan, mengatakan bahwa teknologi memperlancar komunikasi, tapi tidak memuaskan secara emosi. Untuk mengatasinya, pastikan bahwa komunikasi digital dilakukan hanya untuk hal-hal rutin saja. Sedangkan untuk hal-hal penting, tetap bicarakan secara tatap muka. Simpan hal-hal menarik yang ingin Anda ceritakan untuk sesi khusus obrolan santai di akhir hari.

2. Hobi nonton film romantis
Banyak wanita senang nonton film romantis. Tapi hati-hati, jangan anggap serius film-film tersebut, karena riset menunjukkan bahwa pasangan yang percaya pada romansa ala film biasanya jadi tidak sepenuh hati menjalankan hubungan asmaranya sendiri.

Dalam film, meski cobaan dan kesedihan melanda, selalu ada akhir yang bahagia dan mengejutkan. Tentu saja hal ini tidak terjadi di dunia nyata. Tidak semua lelaki bisa berlaku seperti pangeran impian, dan tidak semua hubungan berjalan layaknya di film romantis. Gunakanlah film-film ini sebagai inspirasi bagi hubungan Anda, tapi selalu ingat bahwa film hanya karya fiksi.

3. Kurang tidur
Riset yang dilakukan UC Berkeley menemukan bahwa sebagian besar pasangan bertengkar hebat dalam kondisi kurang tidur. "Jika Anda kurang tidur, konsentrasi akan menurun dan Anda tak bisa berpikir jernih," ujar Leslie Becker-Phelps, PhD, psikolog dan relationship expert untuk WebMD. Jadi lain kali, jika Anda sedang beradu mulut dengan suami, coba ajak dia baik-baik untuk membicarakan masalah ini besok pagi setelah terbangun dari tidur nyenyak.

4. Tak pernah bertengkar
Karena Anda tak pernah berantem dengan suami, bukan berarti semua baik-baik saja. "Yang juga tak pernah bertengkar adalah pasangan yang tak jujur kepada satu sama lain," ujar Dr. Becker-Phelps. Bertengkar sesekali, menurut penelitian Universitas Michigan, justru baik untuk kesehatan. Karena jika ada masalah dan hanya dipendam saja, hormon stres akan meningkat tajam dan memicu penyakit fisik.

Namun bukan berarti Anda harus membesar-besarkan hal kecil dan membuatnya jadi pertengkaran. Cukup saling jujur dan terbuka saja, bicarakan semua hal yang mengganggu pikiran Anda. Jika Anda kurang suka dengan kebiasannya melempar baju kotor sembarangan, alih-alih dipendam bertahun-tahun hingga akhirnya meledak jadi pemicu pertengkaran saat Anda sedang sensitif, lebih baik bilang baik-baik pada suami. Katakan bahwa Anda mencintainya, namun Anda akan lebih bahagia jika ia menyimpan baju kotornya di keranjang yang sudah disediakan.

5. Masalah rumah tangga teman
Penelitian menunjukkan bahwa perceraian cenderung mewabah dalam lingkaran sosial, keluarga, bahkan tempat kerja. Jika suami teman Anda ketahuan berselingkuh, tanpa disadari Anda akan mulai bertanya-tanya apakah hal yang sama mungkin terjadi pada suami Anda. Terlebih jika Anda memiliki sejumlah teman yang bercerai, karena ini membuat Anda berpikir pada perceraian adalah salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan.

Bukan berarti Anda harus meninggalkan teman yang rumah tangganya bermasalah. Tentu saja tidak. Cukup tingkatkan kesadaran diri bahwa hubungan setiap orang berbeda-beda, karena terdiri dari dua orang yang memiliki nilai moral dan kepribadian yang berbeda pula. Apa yang terjadi pada rumah tangga sahabat Anda tak bisa dibandingkan dengan rumah tangga Anda.

6. Melupakan kencan
Banyak pasangan setelah menikah, apalagi punya anak, berhenti meluangkan waktu untuk kencan berdua saja. Padahal berkencan sangat penting untuk menghangatkan hubungan, untuk beristirahat sejenak dari berbagai kewajiban rumah tangga, mengurus rumah, mengurus anak, dan sebagainya, dan mengingatkan diri bahwa hubungan bukan sekadar "pekerjaan", tapi komitmen yang didasari rasa cinta.

Tak perlu merencanakan liburan atau bulan madu kedua ke tempat yang jauh-jauh. Berkencan sebaiknya malah dilakukan sering dan rutin, misalnya setiap malam minggu, persis seperti waktu Anda masih berpacaran.

7. Terlalu banyak minta maaf
Jika Anda memang melakukan kesalahan, minta maaf memang sudah sewajarnya. Yang berbahaya adalah jika Anda atau pasangan adalah tipe yang meminta maaf hanya supaya pertengkaran berakhir. Padahal bisa jadi pihak yang meminta maaf tersebut tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan, atau bahkan tahu tapi tidak mengerti kenapa itu jadi kesalahan di mata pasangannya.

Yang lebih berbahaya adalah jika Anda atau pasangan gemar meminta maaf hanya karena malas bertengkar, tapi dalam hati memendam kesal. Yang terbaik adalah selalu memberi tahu pasangan apa yang Anda rasakan. Jika Anda senang melakukan A, tapi dia tak suka, jangan langsung meminta maaf dan memendam kecewa. Bicarakan pada pasangan kenapa Anda senang melakukan A, dan minta dia untuk mengerti, atau setidaknya cari jalan tengah yang sama-sama menguntungkan.